Minggu, 20 Februari 2011

Fanfict Pertama 'Ketika Hujan'


“KETIKA HUJAN”

“Hu.. Huatcho!”
“Heh… lo pasti ujan-ujanan lagi ya?”
Aku masih terus menjejalkan tisu ke kedua lubang hidungku tanpa memedulikan orang yang terus mecinondongku dengan rupa-rupa komentar itu. Entah sudah berapa lembar aku habiskan untuk menampung ingus-ingus menyebalkan yang tak mau berhenti ini.

“Woy…! Oocin…! si wanita jadi jadian…!” panggil orang di sebelahku lagi, kali ini dengan nada sangat ngotot.
“Hehe…” akhirnya, aku menyerah dan hanya cengar-cengir pada Taemin yang sedari tadi duduk di sebelahku. Jam kosong adalah jam pelajaran paling menyenangkan, karena kami bisa terbebas dari pelajaran dan guru yang menyebalkan. Oh ya, aku dan Taemin duduk di kelas 1 SMA, kami sekelas. Selain itu kami juga bertetangga. Rumah kami berhadapan dan otomatis kami pun berteman sejak dulu.

“Kayak anak kecil aja lo, masih suka main hujan-hujanan.” Taemin geleng-geleng kepala karena ulahku. Namun aku hanya tersenyum simpul dan melanjutkan mengusap-usap hidungku. “Biarin…”

Kami menikmati angin sepoi siang itu sambil duduk-duduk di atas bangku kayu panjang, yang dinaungi sebuah pohon beringin di taman sekolah. Taemin sudah hafal sekali dengan kelakuanku dan juga hobiku yang terkadang suka hujan-hujanan ini, begitu juga sebaliknya. Entah bagaimana kami bisa bersahabat, aku yang pecicilan serta Taemin yang cool namun terkadang hobi sekali mengomel.

Tapi, aku merasa senang berada di dekatnya. Seakan semua rasa bosan dan penat menguap dengan mudahnya ketika mulut elastisnya itu mulai berkomentar macam-macam.
“Cin!” aku yang masih setia dengan kegiatan sedot ingus dikagetkan oleh bentakan Taemin dan tangannya yang tiba-tiba menyatukan kedua lututku yang membuka lebar, padahal aku memakai rok.
“Lo itu duduk yang bener dong!”
“Sori Taemin, khilaf…”

Taemin masih memelototiku padahal aku sudah merapikan posisi dudukku.
“Iya, iya, dasar kuda bawel lo Taemin.” kataku.
“Huh, kebiasaan!” kata Taemin sebal sambil menyundul pelan kepalaku.
“Eh, kukasih ingus lho!” kutawarkan tisu bekas ingusku pada Taemin yang langsung menggeser duduknya menjauh dan memasang tampang jijik.
“Ih… Ocin… jorok tau.”
“Huahaha…!”

Aku malah ketawa terbahak-bahak melihat muka Taemin yang bergidik sambil melihati tisu yang kuacung-acungkan. Aku membuang tisu tersebut dengan melemparnya jauh-jauh, entah bakal mendarat dimana benda najis itu. Lalu kuambil tisu baru lagi yang langsung kuusapkan ke hidungku.
“lo kenapa sih suka banget sama hujan? arma air begitu arma girang banget ngeliatnya…”
“Hmmm…”
“Huatcho!”
“Tapi perasaan tiap kali ada hujan lo gak selalu hujan-hujanan…belakangan ini hujan terus tapi baru kemarin lo keliatan lari muter-muter ditengah hujan…”
“Hmmm…”
“Ya ampun, lo ditanyain jawabnya ham hem ham hem mulu.” Taemin mengeluh padaku yang sama sekali tidak menggubrisnya.
“Lo nggak liat gue lagi sibuk ngelap ingus, Taemin? Nyiksa banget nih! Lo sahabat gue dari kecil, setidaknya ngertiin gue dong, gue butuh pengertian nih!” kataku dengan nada memelas dan memaksa. Aku menepuk-nepukkan telapak tanganku di jidat, berusaha membuat pose orang yang mengalami beban hidup.
“Udah… jangan lebay ah! Mukamu gak pantes!”
“Hahaha…”

Siang itu sepulang sekolah, langit terlihat mendung dan menghalangi cahaya matahari untuk merembes ke bumi. Aku merutuk sendiri di sepanjang perjalanan menyusuri koridor sekolah untuk mencari sosok Taemin yang tak kunjung ketemu juga. “Buset dah… ini anak kemana sih? Mojok di WC sekolahan apa?” gerutuku pelan. “Giliran gue yang butuh, eh dia malah ngilang! Katanya mo pulang bareng!”

Aku berjalan di sepanjang lorong dengan deretan kelas 12 disamping-sampingnya. Sambil celingak-celinguk kalau-kalau si Taemin jelek itu nyasar ke ruangan kakak kelas. Tiba-tiba langkahku berhenti ketika pandanganku tertumbuk pada sesosok bertubuh tinggi, sedang mengendap-endap di depan pintu ruang kesenian. Sosok itu berdiri terpaku di depan pintu dan mengintip ke dalam ruang seni melalui kaca persegi kecil di tengah-tengah pintu.
Taemin?”

Aku berjalan menghampiri Taemin yang entah sedang-berbuat-apa itu di depan ruang musik. Khusyuk sekali dia memandang ke dalam ruangan lewat kaca kecil itu.
“Taemin, lo ngapain?”

Bukannya menoleh, Taemin hanya mengacungkan telapak tangan kanannya padaku yang sudah berada di belakangnya, sementara dia sendiri masih tetap  memandangi sesuatu lewat kaca kecil itu.

“Lo liat apaan sih Taemin?” tanyaku. Bukannya menjawab, Taemin malah melambaikan tangannya pertanda menyuruhku mendekat dan ikut mengintip. Aku pun mendekat dan berusaha melongok melalui kaca kecil di pintu itu, karena tubuhku tak setinggi Taemin.
Aku mencoba menemukan apa yang sedari tadi dipandangi olehnya. Setan? Bukan. Cewek aneh? Ah, ya ampun!
                          
Sudut mataku terus menelusuri seisi ruangan yang tanpa penghuni itu, kecuali…
“Nicole?”
“Sssst…!” Taemin membungkam mulutku dan menyuruhku diam. “Lo lihat? Gila, keren banget main pianonya! Ya ampun tuh anah… udah cantik, baik, pinter main piano pula…!” lanjutnya penuh semangat hingga sebuah slentikan dariku melayang ke dahinya.

CTAKK…!
“Uh, dasar lo tuh ya… kalo Nicole aja lo puji-puji. Giliran gue lo omel-omelin!” Protesku di samping Taemin yang sama sekali tidak menggubrisku. Sekarang giliran aku yang terheran-heran
“Beda Cin… Nicole tuh multitalent banget… tipe gue banget…” sambung Taemin yang masih serius menatap Nicole.


CTAKK!!
Satu slentikan dariku kembali menghantam dahi Taemin. Kali ini cukup keras untuk membuatnya berpaling  padaku.
“Aduh… sakit Cin…” Taemin melotot padaku yang masih cecinut.
“Dasar nggak jantan lo! Kalo suka ngapain lo ngendap-endap kayak kuocing nyolong ikan asin gini? Masuk aja sana! Terus lo tepuk tangan. Lo puji permainan pianonya, dia bakal klepek-klepek sama pujian lo, terus…”
“Terus gue tembak dia. Jadian deh gue sama Nicole!”

BLETAKK!! Kali ini bukan slentikan yang kuhadiahkan padanya, tapi jitakan. Berkali-kali lipat lebih sakit dari jitakan. “Dasar lo tuh ya, gak mutu! Isinya omong arma! Talk less do more, dong…” Aku berkacak pinggang di hadapan Taemin yang masih mengusap-usap dahinya yang mulai maju kedalam, dampak dari slentikan dan jitakanku. “Uuh.. Ocin..! ngajak berantem lo ya…”
“Eh…” Aku mendadak berekspresi seakan teringat sesuatu. “Gue butuh bantuan lo, Taemin.
Ayo cepet pulang! Trus lo ke rumah gue, bantuin PR fisika! Segera…” tanganku menarik tubuh Taemin menjauh dari ruang kesenian.
“Eh… eh… gue masih pengen liat Nicole main…” Taemin mencoba melepaskan dirinya dari tarikanku.

“Nggak! Pokoknya bantuin, ato lo nyesel seumur hidup. Ntar lo bisa balik lagi ke sini. Cepetaaan…!” aku berusaha menariknya dengan lebih kuat, hingga membuat Taemin terpaksa meninggalkan ruang kesenian dan Nicole yang masih menekan tuts-tuts pianonya dengan anggun.

Hujan baru saja turun beberapa saat yang lalu. Bau tanah bercampur air masih jelas terasa di ujung hidung, aroma alami yang benar-benar menenangkan jiwa.
Taemin duduk menghadap jendela kamarnya, langsung mengarah ke jalanan yang tergilas air hujan. Sesekali dia memetik senar bassnya sambil menerawang dengan tatapan kosong. Tiba-tiba pandangannya terfokus padaku yang keluar dari pintu depan rumahku, yang terletak tepat di seberang rumah Taemin sendiri.

Aku keluar dengan menenteng sebuah gitar akustik coklat di tangan kananku, sambil berjalan menuju sebuah kotak bertutup yang berada persis di depan rumahku. Kubuka tutup kotak tersebut, tak peduli hujan dengan ganasnya mengguyur tubuhku yang tanpa perlindungan.

BRUSK!! Kubuang gitar milikku dengan berat hati ke dalam tong sampah kotak itu, kemudian kututup dengan sedikit membanting karena perasaan kesal yang bercampur-aduk.
Taemin dengan raut muka yang sangat kaget berteriak dari jendela lantai atas kamarnya. “Hah? Lo ngapain buang gitar lo?!”

Aku tetap tak bergeming. Kemudian kulangkahkan kakiku untuk masuk ke tengah-tengah halaman berumput rumahku yang juga terguyur hujan deras. Kutadahkan wajahku keatas dengan mata terpejam seolah menantang hujan.
“Ocin! Jawab gue! Itu gitar kesayangan lo, kemana-mana lo bawa, kenapa sekarang dengan seenak malah lo buang?!” Taemin masih ngotot bertanya padaku.
Dan kini dia sampai mengacung-acungkan bass-nya keluar jendela kamarnya. Aku hanya mendongak sekilas dengan rambut lengket karena basah, kemudian menyapanya. “Hai.”
“Heh… lo itu ya, bukannya jawab! Kenapa? Padahal kalo lo main gitar keren banget, gue seneng ngedengerinnya!”
Yeah, tapi bagi lo nggak bakalan sekeren Nicole, batinku tanpa menggubrisnya. Aku merentangkan kedua tanganku, kemudian berlari-lari kecil mengelilingi halaman depan dan menembus derasnya hujan. Tiba-tiba tanpa kusadari, Taemin berlari keluar dari dalam rumahnya, menyeberangi jalan pemisah antar rumah kami yang tak begitu lebar, kemudian menghampiri tong sampah depan rumahku lalu memungut gitar yang baru saja kubuang. Rambut beserta t-shirt putihnya lengket dan basah tergerus air hujan.

“Gue gak tau apa maksud lo ngebuang! Tapi jaga ini baek-baek, Cin. Setidaknya hargai pemberian gue pas ultah kesebelas lo, jangan lupain itu…” dia menghampiriku yang masih ada di halaman depan, dan menyodorkan gitar milikku lewat jeruji pagar yang berjarak lumayan renggang.
“Hhh…” dia mendesah pelan. “Gue pengen lo mainin gitar ini kayak biasanya,”
Lo tau? Gue ngebuang benda itu karena pengen belajar main piano, Taemin. Piano yang lo puja-puja itu, yang lo bilang paling keren sedunia. Gue nggak tahu, sebenernya yang lo sukai itu piano-nya apa Nicole-nya?

Aku terus merutuk dalam hati, namun kemudian tersenyum simpul dan menerima sodoran gitar dari Taemin. Kemudian asyik bermain lagi dengan hujan.
“Nah, gitu dong.” Taemin tersenyum dengan senyum paling manisnya yang membuatku nyaris terpaku. “Dasar, hujan-hujanan mulu kerjaan lo! Awas sakit lagi!” dan dengan tubuh yang basah, dia kembali berlari ke rumahnya.
“Gomawo Taemin,” kataku.
“Yo’a!” teriaknya sambil mengangguk, kemudian menutup pintu dan berlalu.

KRIIING…! KRIIING…!

“Duh, siapa sih yang kurang kerjaan banget nelpon hari Minggu gini! Pagi-pagi, lagi!”
Dengan sebal aku meraih gagang telepon dengan kasar dan mengangkatnya. “Halo?”
“Cin? Gue kerumah lo ya sekarang…”
“Hah? Taemin ya? Mau ngapain?”
“Ada deh… ntar gue ceritain. Tunggu ya…. Ya…”
“Oke, gue tunggu di teras,”
“Oke deh. Dah,”
Tut… tut… telepon ditutup dari seberang. Nggak biasanya Taemin girang banget begini. Pasti ada yang nggak beres dengan otak anak itu. Dasar Mr. aneh!
5 menit… 10 menit… Taemin belum juga kelihatan.

“Tuh anak berangkat dari mana sih? Orang rumahnya Cuma di depan ini.” Aku melongok menatap rumah Taemin di seberang. Tapi sosok yang kutunggu nggak muncul-muncul juga.
“Ocin~!”

Aku sontak menengok ke asal suara. Tampak Taemin dengan motorsportnya memasuki halaman rumahku. “Lo darimana aja, Taemin? Rapi amat. Banyak gaya lo.”

Taemin tak menjawab. Dia memarkir motornya sembarangan di halaman rumahku dan bergegas menghampiriku yang duduk-duduk di teras. Baru saja dia sampai di hadapanku, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
“Yaa… ujan..”
Taemin balik badan dan kembali ke motornya, kemudian memindahkan motor kesayangannya itu ke garasi rumahku. Kemudian dia kembali ke hadapanku dengan senyum terkembang yang membuatnya makin ganteng.
“Lo kenapa Taemin? Habis ketiban nangka?”

Taemin masih tersenyum lebar padaku yang menatapnya penuh keheranan. Gila, gak kering apa terus-terusan nyengir?
“Coba tebak…” dia semakin membuatku penasaran dengan wajah jahilnya.
“Apaan sih Taemin? Cepetan! Gue tonjok lho kalo bikin penasaran terus!”
“Hahaha…” Taemin malah tertawa mendengar gertakanku. Kenapa sih anak ini? Dia memang sering heboh, tapi nggak pernah sampai kayak gini.
“Ehm.. ehm…” tiba-tiba Taemin sok bergaya pejabat yang akan pidato diatas mimbar, kemudian dia diam dengan arma muka serius dan perlahan mulai bicara…

“Gue…Gue…Gue…”

BLETAKK! Belum sempat Taemin ngomong, aku sudah menjitaknya dengan keras. “Gua, Gue, apaan sih?!”
Taemin menggosok kepalanya yang puyeng karena dijitak, kemudian dia berteriak dengan lantang dan penuh kegirangan. “Gue jadian sama Nicole…!!”
Dia lonjak-lonjak kegirangan sambil mengacung-acungkan kepalan tangan di udara seperti baru saja memenangkan sebuah piala World Cup. Seketika itu pula dia memelukku dengan erat. Aku tak kuasa melepas pelukan nya dari ku. Tetapi aku harus sadar, kalo dia udah punya Nicole.
“ehm, Taemin. “
“Taemin.! Taemin! Taemin!” aku berteriak sekuat mungkin
“lo udah punya pacar, gak enak kalo lo meluk gue kayag gini”
“oh ya, gue lupa cin. Mianhe  (Maaf).”

Seketika itu dia melaskan pelukannya dari ku. Lalu dia menari nari girang di teras rumahku.
Aku menatap kosong Taemin yang masih menari-nari girang di teras rumahku. “Tau nggak Cin, gue tadi ke alun-alun ketemu Nicole… emang jodoh ya. Kita berdua ngobrol dan ngobrol dan entah kerasukan jin apa gue nekat nembak dia. Dan lo tau Cin… dia… dia langsung nerima gue… gila…”

Taemin berputar-putar dengan girangnya di hadapanku yang masih menatapnya. Dia menggenggam tanganku dan mengajakku menari, tapi tubuhku hanya terdiam menatapi Taemin yang sepertinya tak bisa mengendalikan kebahagiannya. Taemin berlari kesana-kemari di teras rumahku. Sedangkan mataku hanya mengekor kemanapun Taemin melangkah.
“Gue seneng Cin… gue seneng…”

Tiba-tiba, entah kenapa kakiku bergerak sendiri dan membawaku ke halaman. Persis di sebelah teras rumah.
“Kemana Cin?” Taemin yang melihatku sontak menghentikan loncatannya dan menatapku dengan alis ditautkan. Aku terus berjalan keluar menembus hujan. Sekarang aku berdiri di tengah-tengah halaman dengan guyuran air yang cukup deras, sambil menghadap ke Taemin yang masih memandangiku dari teras.
Dengan segenap hati, aku tersenyum.
“Selamat ya Taeminnnnn…!!” aku berteriak kencang mengalahkan suara hujan. “Sini! Kita rayain di sini!” aku melambai ke arahnya yang masih terpaku di teras. Taemin yang sedari tadi bengong akhirnya tersenyum. “Gue disini aja Cin, gak suka hujan… gue nari dari sini aja ya!”

Aku tersenyum pada Taemin. Perlahan aku mulai menengadahkan wajah dan merentangkan tangan bak pesawat yang ingin lepas landas.  Kemudian aku berputar-putar dan berlari mengelilingi halaman dalam keadaan basah kuyup.
Taemin yang melihat tingkahku akhirnya meloncat-loncat kegirangan dan kembali menari-nari di teras rumah. Aku bisa melihat dia menari dan mungkin sambil membayangkan sosok si Nicole bersamanya. Aku mengikutinya, karena hapal sedikit geraknya dan dia juga pernah mengajari tarian itu walau sebentar. Meski kami agak berjauhan dan terlihat kontras karena terpisah oleh hujan, tapi kami seolah menari bersama.

Aku mengikuti gerakan Taemin yang melompat-lompat sambil berputar-putar…
Mataku menatap senyumnya yang terkembang.
Taemin terus menari. Perlahan aku menjejakkan kakiku dan menghentikan langkahku. Aku hanya menggerak-gerakkan tangan sebentar sampai akhirnya berhenti menari. Bibirku tersenyum menatap polah Taemin yang masih kegirangan. Aigo (oh, Tuhan) manis sekali dia… seperti anak kecil saja. Tapi kali ini, entah kenapa dadaku terasa sesak sekali. Kupandang langit yang masih mencurahkan isinya seperti sebuah shower raksasa, dan kurasakan tetesan hujan jatuh satu-persatu ke dahiku yang kemudian mengalir ke daguku.
Taemin…
Apa kau… bahagia?
Selamat berbahagia ya, sahabatku…

Hujan…
Aku suka hujan…
Karena…
Hanya dibawah hujanlah…
Air mataku takkan tampak…
Hujan memang bisa membawa pergi air mataku,
Membawanya larut bersama alirannya.
Tapi hujan tak bisa melarutkan masalahku bersamanya.
Andai bisa melarutkan seluruh bebanku,
Diguyur hujan selamanya pun aku sanggup.

Tak terasa 7 bulan telah berlalu. Taemin sepertinya sudah melupakan ku sebagai sahabatnya. Aku terakhir bertemu dan berbicara dengannya pada saat dia memelukku di teras rumahku. Aku dan dia tak pernah pulang bersama lagi, dia sudah terlalu sibuk dengan Nicole pacarnya itu. Lagi pula aku sudah mulai melupakannya. Mungkin dia memang bukan untuk ku.

Semenjak terakhir kali kami bertemu, aku mulai merubah sifat ku. Menjadi anak remaja perempuan lainnya. Hanya saja aku bisa di bilang cupu dan pendiam daripada yang lainnya. Dan teman teman ku sudah jauh dariku.

Diary yang selalu menemaniku sejak 3 bulan yang lalu sudah habis. Aku pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli kubutuhan ku yang hampir habis. Aku hanya tinggal sendiri di seoul.

Pada saat aku sedang asik berbelanja.  Aku merapikan kecamata ku yang ternyata sudah minta diganti. Dan seorang lelaki menabrakku, kacamata ku terjatuh. Aku langsung mengambilnya.

“Mianhe ya (maaf)” lelaki itu berjongkok dan mengambilkan kacamata ku

“Ne (iya)” aku langsung memakai kacamata ku. Aku lalu mendongakkan wajah ku, ternyata itu Taemin. Aku tak kuasa untuk menahan rinduku pada sahabat ku sejak kecil itu.

Kami berdua terdiam selama beberapa lama, sambil bertatapan.
Kami berdua seakan membeku karna ini pertama kalinya aku dan dia bertemu kembali.
Aku langsung pergi meninggalkannya tanpa meninggalkan sepatah kata.

Tuhan…
Terima kasih Karena Engkau telah mengabulkan permintaan ku untuk bertemu dirinya.

Sesampainya aku di rumah, aku langsung menyusun barang barang yang sudah ku beli tadi.
Hujan turun dengan derasnya. Aku memanfaatkan keadaan ini. Aku langsung pergi keluar dan berputar putar seolah aku belum pernah mandi hujan.

KRING!!!! KRING!!! KRING!!!

Aku lalu mengangkat handphone ku yang sejak tadi berdering yang kuletakkan diatas meja teras ku.
“Halo”
“Cin, gue liat lo lagi nari nari Gaje di tengah hujan”
“ini siapa?”
“ini gue, Taemin”
“oh. Lo ngapain merhatiin gue tumben”
“gak ada. Gue main ke rumah lo yah”

TUUUUT!!!

Taemin memutuskan telphonnya.
3 menit kemudian, dia lari menuju rumah ku. Aku ternganga melihat dia kerumah ku pada saat hujan deras seperti ini. Aku curiga, pasti ada yang tak beres dengan nya.
Dia berlari dan tiba tiba memelukku dengan sangat erat. Aku gak bisa menolaknya lagi kali ini. Lalu aku membalas pelukkannya. Tetapi kali ini, aku memang tidak bisa membendung rasa rinduku padanya.

“Saranghae (I love you) !” dia bebisik pelan. Dan masih memelukku.
“apa ?” tangan ku tiba tibe lemas. Dan tak berkutik
“Aku suka kamu”

Tiba tiba aku melepaskan pelukannya. Dan tamparan ku melayang di wajahnya.
“kamu kira aku cewek bodoh ? kamu udah punya pacar. Dan bahkan pacar mu lebih cantik dan … pokoknya lebih segalanya dari ku”
“lo dengerin dulu penjelasan gue. “
“ok, gue bakalan dengerin penjelasan lo. Kita masuk dulu “

Dia terperangah melihat sebuah piano terpampang di tengah tengah ruang tamu ku. Piano berukuran sedang dengan warna hitam yang mengkilat dan disana terukir jelas nama ku.

“cin, Sejak kapan lo punya piano? Emang lo bisa mainin piano”
“Taemin, coba lo ingat. Udah berapa lama kita gak ketemu? 7 bulan. Dan gue udah beli piano, gua udah ikut lomba dimana mana! Lo kemana aja sih ? sekarang lo jelasin ama gue, apa maksud lo bilang ITU ke gue ?”
“gu…gu…gue tau gue salah, udah nyuekin lo selama 7 bulan ini. Gue minta maaf. Apa yang memotivasi lo buat jadi pianist ?” awalnya dia ragu, tetapi dia langsung melemparkan senyum seorang malaikat ke wajah ku.
“yang memotivasi gue itu… pianist pianist terkenal itu loh”
“ooh, lo yakin?”
“yakin Taemin…” melemparkan senyuman seolah aku tak pernah senyum.
“waw, ociiiin…. Lo lucu banget senyum kayag begitu”

Sekali lagi, aku melemparkan senyuman ku padanya. Tapi kali ini, aku bisa memandang matanya langsung melihat mataku.

Tak beberapa lama. Dia langsung menyambar piano ku yang terletak di ruang tengah. Dia memainkan lagu lagu yang bagus sekali. Sesekali aku terkagum mendengarnya, tetapi mendadak aku teringat pada perkataan Taemin dengan jelas aku mngulangi perkataannya yang tadi.

“Saranghae”
“hah ? apa cin ?” Taemin seolah terkejut mendengarnya
“oh, gak ada Taemin”

Taemin langsung menghentikan permainan piano classic-nya. Tiba-tiba ia berdiri dan, mencengkeram bahu ku dengan kuat. Kulihat sorot matanya. Dia ingin menjelaskan sesuatu.

“cin, gue mau jelasin semuanya ke lo. Begini ceritanya, gue sama Nicole itu sebenarnya gak pacaran. Gue bilang ke Nicole kalo gue cinta ama lo. Gue mau dia bantuin gue buat dapetin hati lo. Karna gue tau, lo itu cewek yang gak akan bisa gue dapetin dengan mudah. Jadi, gue dan Nicole ngebuat sebuah rencana. Dimana gue pacaran bo’ongan sama dia. Dan…….. gue udah buktiin kalo lo emang cewek yang gak bisa gue dapetin dengan mudah. Contoh aja, waktu gue pacaran ama Nicole, lo langsung diem dan lo nyerah tanpa berusaha sedikit pun buat ngejar gue. Cin, Gue cinta ama lo. Lo mau gak jadiin gue lebih dari sahabat lo ?” dia bertekuk lutut di hadapan ku

“lo gila ya ?” cewek yang semula pendiam, kini kembali berubah ke cewek yang galak.
“jadi, lo udah ngatur rencana ama Nicole buat ngerjain gue ?”
“bukan cin, tapi gue ngatur rencana buat dapetin lo…” Taemin mencoba menjelaskan
“kalo emang gitu, lo udah berusaha sekuat mungkin ngedapetin gue. Gak mungkin gue nge-hancurin usaha lo buat nge-dapetin gue. Gue juga suka ama lo…………..”

Aku berlari ke tengah-tengah halaman rumah ku. Hujan ternyata belum berhenti. Masih mengeluarkan butiran-butiran air dengan derasnya. Aku beputar-putar ditengah hujan. Biasanya jika aku bermain-main di tengah hujan, itu karena aku sedih. Tapi kali ini sungguh berbeda.

“Taemin.. ayo sini… kita rayain di tengah hujan… lo gak keberatan kan kalo kita rayain disini, di tengah hujan…?” aku sedikit berteriak.
“iya, tunggu gue cin. Kita rayain disana ya…”

2-3 menit kemudian Taemin sudah berada di samping ku. Kami menari bersama, dia menggendong ku dan berputar-putar dengan ku. Kami saling berkejaran di tengah halaman.

Hujan
Terimakasih, karna  sudah membawa pergi air mataku
larut bersama air mu

tapi, tidak untuk kali ini
kali ini aku bahagia
bahagia karena, dia ternyata menyukai ku
lebih dari yang kutahu

THE END

NB : Terinspirasi dari lagu QUASIMODO by SHINee